Minggu, 26 April 2015

Nerjemah ngebut....

Ini adalah pengalamanku yang takkan pernah terlupakan. Pada sekitar tahun 2009, aku pernah mendapat order untuk menerjemahkan sebuah buku tentang leadership. Apa judulnya dan siapa pengarangnya aku lupa karena sudah lama banget. Awalnya permintaan yang datang dari salah seorang peserta pelatihan keuangan adalah menerjemahkan buku. Beliau mendesak sekali agar aku mau menerima karena akan dijadikan bahan acuan makalahnya. Dan waktu yang diberikan benar-benar sangat mepet, satu minggu! Gila! Yang bener aja. Bahkan penerjemah yang punya jam terbang tinggi juga gak akan sanggup, ngerjain 350 halaman dalam waktu sesingkat itu. Apalagi aku yang masih baru coba-coba.

Akhirnya setelah diadakan tawar menawar, juga mencari solusi yang tepat. Dari ketersediaan waktu yang dimilikinya untuk menggarap makalahnya memang benar-benar sempit. Beliau juga mengaku kalau dia tidak punya banyak waktu untuk membacanya di sela-sela jadwal diklat yang mesti dilaluinya. Sehingga diputuskan kalau aku tidak perlu menerjemahkan semuanya tapi cukup mengambil poin-poin yang dirasa penting dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Dan untuk urusan bayaran, Alhamdulillah, klien manut saja berapapun harga yang ditawarkan, hehehe... Splendid!!

Meskipun demikian, masalah tidak terus selesai, karena kembali ke masalah waktu, tidak mudah untuk membaca sebuah buku berbahasa Inggris, dengan beberapa istilah yang lumayan kurang familiar, kemudian memahami isinya, dan merangkumnya dalam bahasa Indonesia dalam waktu tiga hari! Apa akal? Lalu aku ingat dengan tetangga yang katanya dulu lulusan Fakultas Bahasa Inggris di sebuah universitas negeri di Semarang. Apalagi aku juga tahu kalau dia lumayan lancar ngomong Inggris-nya. Akhirnya aku tawarkan separuh pekerjaan itu untuknya, yang segera disanggupinya. Lalu aku fotokopi separuh buku itu dan kuberikan ke tetangga untuk segera digarap olehnya. Tak lupa aku mewanti-wanti kalau dia cukup merangkum saja, tak perlu menerjemahkan semua teks-nya.

Dua hari kemudian, si tetangga menyerahkan hasil kerjanya. Dan, Ya ampuuuun! Walaupun tulisan tangannya cukup bagus dan bisa dibaca, tapi tidak bagi isinya. Pertama, dia sama sekali tidak merangkum. Kedua, bahkan terjemahannya sulit dipahami. Dikatakan 'sulit' bukan 'tidak bisa' karena masih ada beberapa diantaranya yang masih bisa aku mengerti. Rupanya si tetangga ini menerjemahkannya kata per kata. Setelah berkutat dengan terjemahannya akhirnya aku memutuskan dengan mata pedas, masih lebih baik membaca teks aslinya daripada membaca hasil terjemahannya. Rugi banget! Kenapa rugi? Karena, pertama, waktuku terbuang sia-sia untuk membaca terjemahan yang tidak bisa kupakai; kedua, aku tetap harus memberi tetanggaku upah seperti yang dijanjikan.

Ya, memang benar pendapat yang mengatakan bahwa semua orang bisa saja berbicara bahasa asing dengan lancar, tapi tidak berarti semua orang bisa menerjemahkan, merangkai kata demi kata sesuai dengan yang dimaksudkan oleh penulis aslinya. Menerjemahkan adalah sebuah seni. Menerjemahkan itu perlu pemahaman dan rasa. Seorang penerjemah juga harus pandai dalam memilih kata dan merangkainya menjadi sebuah harmoni yang indah sesuai yang dimaksudkan oleh penulis bahasa sumber.

Selain masalah-masalah di atas, aku juga mempunyai masalah diluar urusan menerjemah, yaitu profesiku yang sebenarnya, menjadi seorang ibu dari balita yang masih menyusui. Dari awal aku udah komitmen, apapun yang terjadi, pantang bagiku memberi anakku susu formula selagi aku dalam kondisi sehat dengan ketersediaan ASI yang melimpah dalam 'wadahnya' hehehe. Jadi sambil mengetik dan membuka kamus atau googling. Sebelah tanganku, tetap menyangga kepala mungil anakku selagi dia asyik menyusu. Atau meninggalkan komputerku yang berharga untuk mengurus segala keperluannya seperti memandikan, menyuapi dia makan, memasak dan membersihkan ompolnya.

Alhamdulillah, setelah melewati jam-jam panjang dan melelahkan. Tiga setengah hari kemudian, pekerjaan meringkas dan menerjemahkan buku selesai. Klien mau membayar sesuai dengan yang diminta. Uangnya lalu kupakai buat biaya perbaikan rumah.

Terjemahan dan suntingan

Bahasa sumber:
Here's what one woman learned after taking a year off from her marriage
Diterjemahkan menjadi:
Disini apa yang dipelajari seorang wanita setelah satu tahun lepas dari pernikahannya
Disunting menjadi:
Inilah yang dipelajari wanita pasca satu tahun perceraiannya


Bahasa sumber:
Gregory Pardlo, Pulitzer winner for poetry, on his sudden fame
Diterjemahkan menjadi:
Gregory Pardlo, pemenang Pulitzer untuk puisi, di mendadak terkenalnya
Disunting menjadi:
Gregory Pardlo, pemenang Pulitzer untuk kategori puisi, mendadak terkenal